Iklan

Cari Blog Ini

Jumat, 03 Mei 2013

Tambang Timah Serta Dampaknya

DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH BAGI MASYARAKAT BANGKA BELITUNG

 

Istilah TI sebagai kepanjangan dari Tambang Inkonvensional sudah sangat dikenal di kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan sebutan untuk penambangan timah dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana, yang biasanya bermodalkan antara 10 juta sampai 15 juta rupiah. Untuk skala penambangan yang lebih kecil lagi, biasanya disebut Tambang Rakyat (TR). TI sebenarnya dimodali oleh rakyat dan dikerjakan oleh rakyat juga. Secara legal formal TI sebenarnya adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena memang umumnya tidak memiliki izin penambangan.

Pada awalnya TI "dipelihara" oleh PT. Tambang Timah ketika perusahaan itu masih melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka Belitung. TI sebetulnya muncul karena dulu PT. Tambang Timah melihat daerah-daerah yang tidak ekonomis untuk dilakukan kegiatan pendulangan oleh PT. Tambang Timah sendiri. Oleh karena itulah, kepada pengelola TI diberikan peralatan pendulangan mekanis yang sederhana. Peralatan yang dibutuhkan memang tidak terlalu rumit, cukup dengan ekskavator, pompa penyemprot air, dan menyiapkan tempat pendulangan pasir timah. Metodenya pun sederhana, tanah yang diambil dengan ekskavator kemudian ditempatkan di tempat pendulangan, dan kemudian dibersihkan dengan air. Lapisan tanah yang benar-benar berupa tanah, dengan sendirinya akan hanyut terbawa air, dan tersisa biasanya adalah batu dan pasir timah.


Pada mulanya pengelola TI melakukan kegiatan di dalam areal kuasa penambangan (KP) PT. Tambang Timah dan kalau sudah habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi di luar KP PT. Tambang Timah sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena menambang kebanyakan di luar KP PT. Tambang Timah.

Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu pembangunan smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam. Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal dengan mudah ditemukan, seperti di kawasan Kecamatan Belinyu.


1. Lubang Tambang


Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.

2. Air Asam Tambang


Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

3. Tailing


Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.
Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.

Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!


Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari TI menyebabkan pendangkalan sungai.

Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan wilayah daratan. Seperti yang diinformasikan sebelumnya, bahwasanya kerusakan alam bahkan terjadi hingga ke pantai (masyarakat Bangka menyebutnya TI Apung), tempat bermuara sungai-sungai yang membawa air dan lumpur dari lokasi TI. Di kawasan pantai, hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah pesisir pantai, beroperasi juga tambang rakyat menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin dongfeng dan pipa paralon, yang mengapung. Para buruh menyelam ke dasar laut, mengumpulkan sedikit demi sedikit timah.

Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.

Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Pulau Bangka cukup tinggi.





13 komentar:

  1. waduh parah banget ya bekas tambang timah

    BalasHapus
  2. efeknya begitu mengerikan ya mbak, tidak ada solusi yang ditawarkan pemerintah daerahnya ?

    BalasHapus
  3. wah wah...efek yang merugikan bagi semua ...kasihan anak cucu kita

    BalasHapus
  4. wah repot kalo begini bisa cepet ki amat nih kalo efeknya sangat merugikan

    BalasHapus
  5. manusia selalu merusak alam, padahal Tuhan sudah memberikan warning. Jgn disalahkan Tuhan jika memberikan hukuman kpd ummatnya

    BalasHapus
  6. apakah sudah ada penanganan oleh pemerintah setempat mbak, atau malah mendukungnya

    BalasHapus
  7. Kapan bang ini bebas dari hal2 yg bginian ya, terlalu banyak dampak yg ditimbulkan akibat perbuatan manusia yg tdk memperhatikan lingkungan disekitarnya

    BalasHapus
  8. Harus ada penanganan serius dari pemerintah... pengawasan yang ketat agar tidak tambah parah kerusakan yang terjadi...

    BalasHapus
  9. tidak boleh dibiarkan tuh,hancurlah bumi ini nantinya,...

    BalasHapus
  10. wah, kok ngeri banget dampaknya ya mbak wulan...apalagi yang air asam itu, apa ya nggak ada solusi yang lebih aman gitu dalam hal membuat limbah buang lebih aman bagi lingkungan?

    BalasHapus
  11. indonesia memang repot di pengawasan. sebenarnya ga bisa gitu karena undang undang mengatur secara ketat tentang enviro.
    tapi ya gitu deh..
    pejabat pengawasnya lebih suka dana enviro itu masuk ke saku dia daripada dipakai menghijaukan lahan eks tambang
    hiduplah indonesia raya...

    BalasHapus
  12. itulah akibat keserakahan manusia...

    BalasHapus
  13. segala sesuatu selalu ada sisi positif dan negatifnya yah.. harusnya dari awal sdh dipikirkan solusi dari dampak ini, jgn hanya mengambil dari alam tp kita ga menyeimbangkannya.. bisa2 imbasnya pada kita jg nantinya..

    BalasHapus

Terimakasih kunjungannya... salam

Pengikut